Selasa, 31 Mei 2011

Contoh Makalah Imlikasi Etis Dari Teknologi Informasi

Manajemen Rumah Sakit Di Indonesia

Di samping masalah-masalah manajemen, rumah sakit kita juga menghadapi masalah-masalah yang lebih mendasar, yaitu aspekaspek filosofi. Apakah RS harus tetap merupakan instansi social yang non-profit making atau boleh profit making?

Dalam Majalah Manajemen (No. 4, Mei 1981) telah dikemukakan sebuah artikel: “Organisasi Rumah Sakit Mengapa Kurang Efektif?” Artikel tersebut ditulis oleh J. Sadiman, dan mengemukakan aspekaspek hubungan antara pengurus/yayasan yang memiliki rumah sakit dengan direksi rumah sakit serta kemungkinan adanya kekaburan mengenai menajemen organisasi rumah sakit.

Masalah manajemen rumah sakit pada akhir-akhir ini memang banyak disorot. Tidak saja atas keluhan-keluhan masyarakat yang merasa kecewa dengan pelayanan rumah sakit, baik dari segi mutu, kemudahan, dan tarif, tetapi juga perkembangan zaman yang memang sudah mendesak ke arah perbaikan-perbaikan itu.
Setidak-tidaknya ada beberapa alasan untuk meningkatkan kemampuan manajemen rumah sakit:

1. Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang cepat.
Dalam 10-20 tahun terakhir, ilmu kedokteran (termasuk di Indonesia) telah berkembang tidak saja ke tingkat spesialisasi dalam bidang-bidang ilmu kedokteran, tetapi sudah ke superspesialisasi.
Sejalan dengan ini, teknologi yang dipergunakan juga semakin meningkat. Bisa dipahami bahwa investasi dalam dunia kedokteran dan rumah sakit akan semakin mahal (termasuk human invesmentnya). Karena itu, manajemen rumah sakit yang tidak baik akan menimbulkan pelayanan kesehatan yang semakin mahal atau sebaliknya, bahwa rumah sakit tidak dapat berjalan dan bangkrut. Dalam hal ini perlu disadari bahwa dengan perkembangan tersebut, pelayanan rumah sakit pada dasarnya memang cenderung menjadi mahal”.

2. Demand masyarakat yang semakin meningkat dan meluas.
Masyarakat tidak saja menghendaki mutu pelayanan kedokteran yang baik, tetapi juga semakin meluas. Masalah-masalah yang dahulu belum termasuk bidang kedokteran sekarang menjadi tugas bidang kedokteran. Terjadi apa yang disebut proses medicalization. Dapat dimengerti bahwa karenanya beban rumah sakit akan semakin berat.

3. Dengan semakin luasnya bidang kegiatan rumah sakit, semakin diperlukan unsur-unsur penunjang medis yang semakin luas pula, misalnya:
masalah-masalah administrasi, pengelolaan keuangan, hu-bungan masyarakat dan bahkan aspek-aspek hukum/legalitas. Belum lagi kehendak pasien yang menghendaki unsur penunjang nonmedis yang semakin meningkat sesuai dengan kebutuhan manusia masa kini. Manajemen rumah sakit dengan demikian akan semakin kompleks. Makin lama makin dirasakan perlunya peningkatan pengelolaan rumah sakit secara profesional.

Ada kesan bahwa kecenderungan di atas kurang diperhitungkan. Rumah sakit seolah-olah “ketinggalan kereta” menanggapi kecenderungan itu. Di samping itu, juga masalah-masalah yang elementer banyak yang belum terselesaikan, misalnya seperti yang ditulis oleh J. Sadiman, yaitu hubungan antara direksi rumah sakit dan pemilik rumah sakit (yayasan) sehingga sering terjadi kesalahpahaman di antara keduanya.

Rumah sakit di Indonesia untuk sebagian besar (± 70%) dimiliki oleh Pemerintah. Sebagian rumah sakit swasta didirikan oleh lembaga-lembaga/yayasan, khususnya dengan latar belakang keagamaan atau lembaga-lembaga sosial lainnya, yang biasanya diprakarsai oleh kalangan masyarakat atau orang-orang yang terhormat. Sudah tentu, rumah sakit seperti ini membawa missi sosial dan karena itu tidak profit making. Mungkin karena sifat non-profit making inilah, ada kesan bahwa rumah sakit seperti ini dikelola “asal jalan” dan sematamata mengutamakan pelayanan medis pasien-pasien yang dirawat. Kerugian yang ada biasanya akan ditangani lembaga-lembaga keagamaan/sosial yang bersangkutan, dari donasi/sumbangan yang diperolehnya.
Baru pada akhir-akhir ini, terutama pada sekitar tahun 1975, muncul rumah sakit swasta di kota-kota besar, yang dikelola dengan motivasi yang agak berlainan. Meskipun rumah sakit ini tidak secara berterus terang merupakan lembaga yang profit making, akhirnya toh tidak dapat disembunyikan bahwa rumah sakit ini mempunyai kemampuan finansial yang kuat yang tentunya sulk untuk menyatakan bahwa rumah sakit ini adalah non-profit making dan sosial sematamata. Fenomena ini telah menumbuhkan polemik baru dari segi filosofis, yaitu apakah rumah sakit dimungkinkan dikelola secara “bisnis” dalam arti menjadi suatu instansi yang profit making? Polemik ini sudah tentu menyangkut landasan kenegaraan/falsafah kenegaraan kita, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Meskipun demikian, dalam perkembangan dewasa ini, rumah sakit toh tidak mungkin dikelola semata-mata sosial. Dalam keadaan sekarang, hampir seluruh rumah sakit swasta menghadapi realita kehidupan yang semakin meterialistis. Rumah sakit harus membayar teknologi kedokteran, listrik, air, dapur, dan bahkan imbalan jasa dokter dan paramedic dengan mengikuti harga pasar. Dalam keadaan inilah, dari segi manajemen, rumah sakit yang selama ini memang lebih mementingkan aspek sosial, seolah-olah ketinggalan “kereta”. Tidak terlepas dalam hubungan ini adalah rumah sakit pemerintah di mana meskipun seluruh biaya eksploitasi/personel/gedung dan lain sebagainya ditanggung oleh pemerintah (secara teoretis), keperluan mengelola rumah sakit sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen adalah sangat mutlak.

Hubungan Dokter—Rumah Sakit

Masalah ini juga sangat pelik. Seperti dikatakan di atas, hampir seluruh rumah sakit yang besar sekalipun tidak memiliki dokter ahli yang tetap. Dewasa ini mereka bekerja secara lepas dan tersendiri dan rumah sakit semata-mata memberikan hak kepada dokter-dokter untuk merawat pasien di rumah sakit. Sebagian rumah sakit me-nyelenggarakan hubungan kerja secara part time untuk suatu jabatan rumah sakit tertentu, misalnya untuk direksi medis atau kepala-kepala bagian. Namun sudah ada rumah sakit swasta yang justru melepas keterikatan dengan dokter-dokter ahli ini. Hubungan ini membawa implikasi yang pelik dalam hubungan keuangan. Menjadi pertanyaan, pasien yang dirawat di rumah sakit itu pasien dokter atau pasien rumah sakit? Apabila mereka itu pasien para dokter, bukankah rumah sakit harus berterima kasih kepada dokter-dokter? Dokter-dokter dengan demikian benar-benar “tamu rumah sakit”. Artinya, orang yang dihormati, berada di luar organisasi rumah sakit, tetapi menentukan jalannya rumah sakit, karena ± 80% dari biaya rumah sakit pada hakikatnya dikontrol oleh dokter-dokter.
Dengan peranan yang besar dari para dokter dan sebaliknya, begitu “kendornya” hubungan antara dokter dan rumah sakit dewasa ini tidak saja memberi dokter posisi unik di rumah sakit, tetapi juga sangat berpengaruh dalam memberikan warna terhadap pengelolaan rumah sakit secara keseluruhan. Karena itu, banyak direktur rumah sakit yang sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi dokter-dokter.

Meskipun demikian, dengan adanya kebutuhan untuk mening- katkan manajemen rumah sakit seperti di atas, pola-pola hubungan itu sudah harus diletakkan dari sekarang. Dalam menghadapi masalah ini, rumah sakit (sebenarnya) lebih banyak harus menyesuaikan dini dengan kebijalcsanaan pemerintah, karena hampir semua dokter spesialis berada dalam kewenangan pemerintah.

Dari segi manajemen, rumah sakit dapat saja bertahan -dalam ke- adaan sekarang, artinya mempertahankan status hubungan sebagai “dokter tamu” atau “status part timer” dengan dokter-dokter ahli, atau sebagai “konsultan”, namun (akhirnya) masyarakat yang menjadi korban. Seperti yang kita lihat sekarang, di mana terjadi disparitas yang besar antara rumah sakit pemerintah dan swasta. Rumah sakit pemerintah mampu memberikan pelayanan yang murah, sehingga banyak dimanfaatkan °rang, tetapi berakibat kualitas pelayanannya sering dianggap kurang. Sebaliknya, dari segi pengabdian merupakan tempat pengabdian yang utama. Sedangkan di rumah sakit swasta, mereka memperoleh insentif dari aspek-aspek material. Disparitas ini mengesankan bahwa rumah sakit swasta untuk golongan yang mampu dan rumah sakit pemerintah untuk melayani golongan yang kurang mampu. Tetapi, dalam perkembangan waktu, rumah sakit pemerintah pun didorong untuk memiliki fasilitas golongan yang mampu dengan timbulnya fasilitas-fasilitas khusus di rumah sakit pemerintah. Di sini, juga diakomodir kepentingan dokter dari segi material.

Keadaan seperti ini, pada akhir-akhir ini telah memperoleh perhatian. Konon sedang dipikirkan, bagaimana rumah sakit juga dapat memiliki dokter-dokter ahli yangfid/ time, sehingga pelayanan rumah sakit semakin dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
Pengelolaan Rumah Sakit

Pengelolaan rumah sakit sehari-hari menjadi wewenang dan tugas di- reksi rumah sakit sendiri. Pada dasarnya, betapapun (mungkin) ke- bijaksanaan yang diberikan oleh pengurus yayasan/pemilik rumah sakit mungkin sudah baik, citra rumah sakit akan terbentuk oleh pe- laksanaan tugas sehari-hari.

Scperti dikatakan di atas, masalah-masalah ini menjadi semakin komplelcs. Pelayanan administrasi/penunjang/hubungan masyarakat dan aspek-aspek hukum/peraturan rumah sakit semakin luas. Hal ini memerlukan penanganan manajemen secara lebih profesional. Hospital management telah berkembang menjadi ilmu yang tersendiri. Sebaliknya, dengan peningkatan ilmu kedokteran ke tingkat super- spesialisasi, ada anggapan bahwa dokter-dokter (secara profesional) sayang apabila menangani masalah-masalah yang nonmedis.
Masalah itu perlu dikemukakan, karena peranan dokter adalah sangat kuat dan pengelolaan rumah sakit di Indonesia dewasa ini, yang dengan sendirinya mempengaruhi jalannya organisasi-organisasi rumah sakit, yaitu penyelenggaraan organisasi diagnostik, therapy, perawatan pasien, penyediaan/logistik, adiminstrasi/keuangan, rumah tangga, perlengkapan dan lain sebagainya.

Tentunya akan sangat ideal, apabila seorang direktur adalah se- orang dokter yang telah memperoleh pendidikan dalam Hospital Management. Tidak berlebihan bahwa para manajer rumah sakit di Indonesia telah banyak belajar dari pengalaman, namun dalam meng- hadapi perumahsakitan yang semakin komplelcs, masalah ini perlu dipecahkan, sehingga kemampuan rumah sakit menyelenggarakan rumah sakit itu dapat ditingkatkan.

Struktur Organisasi

Dengan memperhatikan uraian di atas, jelaslah bahwa ada tiga badan yang semestinya sangat penting dengan tugas dan wewenang yang cukup jelas, yaitu:

1. Pemilik Rumah Sakit/Yayasan/Governing Board.

2. Direksi Rumah Sakit.

3. Staf Kedokteran (Medical Staff).

Ketiga Badan ini, sesuai dengan fungsi dan wewenangnya, saling mengisi dan mengontrol, sehingga tercapai keseimbangan untuk mengarahkan tujuan yang hendak dicapai oleh rumah sakit itu.

Tetapi, khusus di Indonesia, ketiga badan ini pada umumnya masih sering terjadi semacam conflict of interest dari masing-masing anggota badan tersebut, karena dari segi personalia sering tidak dapat dipisahkan tugas seorang dokter yang menjadi direksi rumah sakit yang sekaligus merawat pasien. Atau anggota yayasan yang juga merawat pasien. Dalam tahap sekarang masalah ini memang (dalam batas-batas tertentu) tidak dapat dihindari, karena peranan yang besar dari para dokter dalam badan-badan tersebut. Masalah ini dalam tahap pertama tentunya dapat dikurangi dengan suatu job discription yang sejelas-jelasnya. Di masa depan, dengan perkembangan rumah sakit yang semakin kompleks, tentunya dianjurkan adanya pemisahan yang jelas. Dalam hubungan ini, untuk kemudahan komunikasi, ketiga badan ini dapat membentuk semacam “Badan Musyawarah” yang merumuskan dan menampung permasalahan-permasalahan yang ada, sebelum diputus oleh yayasan/ Governing Board/pemilik rumah sakit.

Kepentingan untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan rumah sakit memang sudah mendesak. Dalam tahap pertama, perlu disadari pentingnya keseragaman pandangan di antara pendukung suatu rumah sakit, baik pengurus yayasan, direksi dan para dokter, rumah sakit, lambat atau cepat, semakin dihadapkan pada masalah-masalah yang semakin pelik. Untuk itu pengelolaan rumah sakit harus semakin ditingkatkan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen yang berlaku.
Apabila masalah ini sudah dicapai, direksi rumah sakit yang bertugas mengelola rumah sakit akan banyak didorong dan lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip Hospital Administration secara semestinya.

Pustaka
Manajemen kesehatan Oleh Sulastomo

Implikasi Etis dari Teknologi Informasi

1. PENDAHULUAN
Sekarang terdapat perhatian yang lebih besar pada etika dalam penggunaan komputer daripada sebelumnya. Masyarakat secara umum memberikan perhatian terutama karena kesadaran bahwa komputer dapat menggangu hak privacy individu. Dalam dunia bisnis, salah satu alasan utamanya adalah masalah pembajakan perangkat lunak yang menggerogoti pendapatan penjual perangkat lunak hingga miliaran dolar setahun. Namun, subyek etika komputer lebih dalam daripada hanya sekedar masalah privacy dan pembajakan.

Kita menyadari perlunya manajemen puncak menetapkan budaya etika menyeluruh di perusahaan. Budaya ini menyediakan kerangka kerja etika, seperti halnya kode etika dari berbagai asosiasi profesional di bidang sistem informasi.
Etika mempengaruhi bagaimana para spesialis informasi melaksanakan tugas mereka Dengan demikian tanggung jawab CIO untuk mencapai etika pada sistem yang dibuat dan pada orang-orang yang membuatnya. Untuk memenuhi tanggung jawab tersebut CIO dapat mengikuti strategi yang terencana dengan baik.

2. MORAL, ETIKA DAN HUKUM
Sebagai warga masyarakat yang berkesadaran sosial, kita ingin melakukan apa yang benar secara moral,etika dan menurut hukum.

Apakah yang dimaksud dengan Moral
Moral adalah tradisi kepercayaan mengenai prilaku benar dan salah. Moral adalah institusi sosial dengan suatu sejarah dan daftar peraturan. Kita mulai mempelajari peraturan-peraturan dari prilaku moral sejak kecil atau anak-anak. Walau berbagai masyarakat tidak mengikuti satu set moral yang sama, terdapat keseragaman kuat yg mendasar. ”Melakukan apa yang benar secara moral” merupakan landasan prilaku sosial kita.

Apakah yang Dimaksud dengan Etika
Kata Etika berasal dari bahasa Yunani Ethos, yang berarti karakter. Etika adalah satu set kepercayaan, standar, atau pemikiran yang mengisi suatu individu, kelompok atau masyarakat. Semua individu bertanggung jawab kepada masyarakat atas prilaku mereka. Masyarakat dapat berupa suatu kota,negara atau profesi. Tindakan kita juga diarahkan oleh etika.
Tidak seperti moral, etika dapat sangat berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Kita melihat perbedaan ini di bidang komputer dalam bentuk perangkat lunak bajakan (perangkat lunak yang digandakan secara illegal lalu digunakan atau dijual). Pada tahun 1994 diperkirakan 35 % perangkat lunak yang digunakan di Amerika Serikat telah dibajak, dan angka ini melonjak menjadi 92 % di Jepang dan 99 % di Tailand.

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa para pemakai komputer di Jepang dan Tailand kurang etis dibandingkan pemakai Amerika Serikat. Namun tidak pasti demikian. Beberapa kebudayaan, terutama di negara-negara Timur yang menganjurkan sikap berbagi.

Apakah yang dimaksud dengan Hukum
Hukum adalah peraturan prilaku formal yang dipaksakan oleh otoritas berdaulat, seperti Pemerintah kepada rakyat atau warga negaranya. Hingga kini sangat sedikit hukum yg mengatur penggunaan komputer. Hal ini karena komputer merupakan penemuan baru dan sistem hukum kesulitan mengikutinya.

Kejahatan komputer
Cyber crime = computer crime
The U.S. Department of Justice memberikan pengertian komputer crime sebagai ”…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution”.

Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu “any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data”.

Kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.

Dari beberapa pengertian tersebut, computer crime dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai komputer sebagai sarana/alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain.

Secara ringkas computer crime didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang canggih (Wisnubroto, 1999).

Beberapa bentuk kejahatan komputer

Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/ menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya.

Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet.

Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran.

Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.



Offense Against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Sebagai contoh adalah peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain dan sebagainya.

Infringements of Privacy
Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan seseorang pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain akan dapat merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.

Kasus pertama kejahatan komputer terjadi pada tahun 1966, ketika programmer untuk suatu bank membuat tambahan diprogram sehingga program tersebut tidak dapat menunjukkan bahwa pengambilan dari rekeningnya telah melampaui batas. Ia dapat terus menulis menulis cek walau tidak ada lagi uang di rekeningnya. Penipuan ini terus berlangsung hingga komputer tersebut rusak, dan pemrosesan secara manual mengungkapan saldo yang telah minus. Programer tersebut tidak dituntut melakukan kejahatan komputer, karena peraturan hukumnya belum ada. Sebaliknya, ia dituntut membuat entry palsu di catatan bank.

Pada tahun 1984 dalam Kongres AS menyetujui UU federal yang khusus diterapkan untuk kejahatan komputer,yaitu:

1. The Small Business Computer Security and Eduction Act menetapkan The Small Business Computer Security and Eduction Advisory Council, yang memberikan saran kepada Kongres mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan kejahatan komputer terhadap usaha kecil.


2. The Counterfeit Access Device and Computer Fraud abd Abuse Act menetapkan bahwa seseorang yang mendapat akses ke informasi yang berkaitan dengan pertahanan nasional dan hubungan luar negeri tanpa otorisasi merupakan pelanggaran. UU ini juga menyatakan bahwa upaya mendapatkan akses tanpa otorisasi ke komputer yang dilindungi oleh Right to Financial Privacy Act atau Fair Credit Reporting Act, dan menyalahgunakan informasi yang terdapat dalam komputer pemerintah federal sebagai suatu pelanggaran.

Sebelumnya, pada tahun 1968 pemerintah federal telah menetapkan The Electronic Communication Privacy Act, yang hanya mencakup komunikasi suara. Pada tahun 1986, UU tersebut direvisi sehingga mencakup komunikasi digital, data, dan video serta surat elektronik (e-mail).

Dengan cara demikian pemerintah federal AS berangsur-angsur menetapkan suatu kerangka kerja hukum bagi pengguna komputer. Seperti halnya etika, hukum komputer dapat sangat berbeda dari satu negara ke negara lain.

Peningkatan kejahatan komputer
Beberapa sebab utama terjadinya peningkatan kejahatan komputer, yaitu :

1. Aplikasi bisnis yang berbasis komputer atau internet meningkat
• Electronic commerce (e-commerce)
• Electronic data interchange (EDI)

2. Desentralisasi server;
lebih banyak server yang harus ditangani dan butuh lebih banyak SDM yang handal, padahal sulit mencari SDM

3. Transisi dari single vendor ke multi vendor;
banyak jenis perangkat dari berbagai vendor yang harus dipelajari

4. Pemakai makin melek teknologi;
• Ada kesempatan untuk mencoba, tinggal download software (script kiddies)
• Sistem administrator harus selangkah di depan

5. Kesulitan penegak hukum untuk mengejar kemajuan dunia telekomunikasi dan komputer;
• Cyberlaw
• Awareness

6. Meningkatnya kompleksitas sistem;
• Program semakin besar (megabytes - gigabytes)
• Potensi lubang keamanan semakin besar


Menetapkan Moral, Etika, dan Hukum dalam Perspektif
Kita dapat melihat bahwa penggunaan komputer dalam bisnis diarahkan oleh nilai-nilai moral dan etika seorang manajer, spesialis informasi dan pemakai serta hukum yang berlaku. Hukum paling mudah diinterpretasikan karena bentuknya tertulis. Di pihak lain, etika tidak didefinisikan secara persis dan tidak disepakati oleh semua anggota masyarakat. Bidang yang sukar dari etika komputer inilah yang sedang memperoleh banyak perhatian.

3. PERLUNYA BUDAYA ETIKA
Pendapat umum dalam bisnis bahwa perusahaan mencerminkan kepribadian pemimpinnya. Hubungan antara CEO dengan perusahaan merupakan dasar budaya etika. Jika perusahaan harus etis, maka manajemen puncak harus etis dalam semua tindakan dan kata-katanya. Manajemen puncak memimpin dengan memberi contoh. Prilaku ini adalah budaya etika.

Bagaimana budaya etika diterapkan
Tugas manajemen puncak adalah memastikan bahwa konsep etikanya menyebar di seluruh organisasi, melalui semua tingkatan dan menyentuh semua pegawai. Hal tersebut dicapai melalui metode tiga lapis yaitu :
1. Menetapkan credo perusahaan;
Merupakan pernyataan ringkas mengenai nilai-nilai etis yang ditegakkan perusahaan, yang diinformasikan kepada orang-orang dan organisasi-organisasi baik di dalam maupun di luar perusahaan.

2. Menetapkan program etika;
Suatu sistem yang terdiri dari berbagai aktivitas yang dirancang untuk mengarahkan pegawai dalam melaksanakan lapis pertama. Misalnya pertemuan orientasi bagi pegawai baru dan audit etika.

3. Menetapkan kode etik perusahaan
Setiap perusahaan memiliki kode etiknya masing-masing. Kadang-kadang kode etik tersebut diadaptasi dari kode etik industri tertentu.

4. ETIKA DAN JASA INFORMASI
Etika komputer, menurut James H. Moor merupakan analisis mengenai sifat dan dampak sosial teknologi komputer, serta formulasi dan justifikasi kebijakan untuk menggunakan teknologi tersebut secara etis. Oleh karena itu, etika komputer terdiri dari dua aktivitas utama, yaitu :
1. Waspada dan sadar bagaimana komputer mempengaruhi masyarakat;
2. Memformulasikan kebijakan-kebijakan yang memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan secara tepat.

Tiga alasan utama atas minat masyarakat yang tinggi pada etika komputer, adalah :
1. Kelenturan logis, kemampuan memprogram komputer untuk melakukan apapun yang kita inginkan. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat takut terhadap orang-orang yang memberi perintah di belakang komputer.
2. Faktor transformasi, berdasarkan fakta bahwa komputer dapat mengubang secara drastic cara kita melakukan sesuatu (misalnya penggunaan e-mail, konferensi video, dan konferensi jarak jauh).
3. Faktor tak kasat mata, komputer dipandang sebagai kota hitam. Semua operasi internal komputer tersembunyi dari penglihatan. Operasi internal tersebut membuka peluang pada nilai-nilai pemrograman yang tidak terlihat, perhitungan rumit yang tidak terlihat dan penyalahgunaan yang tidak terlihat.

4. HAK SOSIAL DAN KOMPUTER
Masyarakat memiliki hak-hak tertentu berkaitan dengan penggunaan komputer. Hak ini dapat dipandang dari segi komputer atau dari segi informasi yang dihasilkan komputer.

Hak atas komputer
Komputer merupakan peralatan yang begitu penuh daya sehingga tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dengan demikian masyarakat memiliki hak atas komputer, yakni berupa (menurut Deborah Johnson) :

Hak atas akses komputer
Setiap orang tidak perlu memiliki sebuah komputer. Namun pemilikan atau akses komputer merupakan kunci mencapai hak-hak tertentu lainnya, yakni mendapatkan pendidikan yang baik, pelatihan keahlian, mendukung wiraswasta, dan lain-lain.

Hak atas keahlian komputer
Di awal pemunculan komputer, ada ketakutan yang luas dari para pekerja bahwa komputer akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja masal. Kenyataannya, komputer telah menciptakan pekerjaan lebih banyak daripada yang dihilangkannya. Sehingga pengetahuan tentang komputer sebagai suatu kebutuhan.


Hak atas spesialis komputer
Mustahil seseorang memperoleh semua pengetahuan dan keahlian komputer yang diperlukan. Karena itu kita harus memiliki akses ke para spesialis tersebut, seperti kita memiliki akses ke dokter, dan pengacara.

Hak atas pengambilan keputusan komputer
Walau masyarakat tidak banyak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai bagaimana komputer digunakan, msyarakat memiliki hak tersebut. Hal tersebut layak jika komputer dapat berdampak buruk bagi masyarakat. Hak-hak tersebut dicerminkan dalam UU komputer yang telah mengatur penggunaan komputer. Di Indonesia masih dalam tahap pembahasan dan belum dalam bentuk RUU.

Hak atas informasi
Klasifikasi hak asasi manusia dalam bidang komputer dalam hal informasi yang paling luas dipublikasikan adalah PAPA (Privacy, Accuracy, Property, Accessibility). Hal tersebut dibuat oleh Richard O Mason, yang masing-masing menjelaskan :
Hak atas Privacy;
Setiap orang memiliki hak untuk dibiarkan menyendiri dalam mendapatkan informasinya. Hak tersebut sedang terancam karena ada dua kekuatan, yaitu meningkatnya kemampuan komputer yang digunakan bagi pengintaian dan meningkatnya nilai informasi bagi pengambilan keputusan.

Hak atas Accuracy;
Komputer dipercaya mampu mencapai tingkat akurasi yang tidak dapat dicapai oleh sistem non komputer.

1. Hak atas Property;
Dalam hal ini adalah hak milik intelektual (hak atas kekayaan intelektual) dalam bentuk program-program komputer. Sehingga HKI tersebut tidak digandakan secara illegal oleh pemakai atau kadang untuk dijual kembali.

2. Hak atas Accessibility;
Informasi yang sebelumnya dalam bentuk dokumen cetak atau microfilm di perpustakaan yang tersedia bagi masyarakat umum. Berdasarkan perkembangan perangkat lunak khususnya database management systems, akses ke penyimpanan informasi atau data menjadi lebih cepat dan lebih mudah. Namun, banyak dari informasi tersebut diubah menjadi database komersial. Sehingga menjadikan informasi tersebut kurang dapat diakses oleh masyarakat. Untuk memiliki akses ke informasi tersebut, seseorang harus memiliki perangkat keras komputer dan perangkat lunak yang diperlukan serta harus membayar biaya akses.

Kontrak sosial jasa informasi
Guna memecahkan permasalahan etika komputer, Mason menyarankan bahwa jasa informasi harus msuk ke dalam suatu kontrak sosial yang memastikan bahwa komputer akan digunakan untuk kebaikan sosial. Kontrak tersebut menyatakan bahwa :
Komputer tidak akan digunakan dengan sengaja untuk mengganggu privasi seseorang.
Setiap ukuran akan dibuat untuk memastikan akurasi pemrosesan komputer.
Hak milik intelektual akan dilindungi.
Komputer dapat diakses masyarakat sehingga anggota masyarakat terhindar dari ketidaktahuan informasi.

Dengan demikian, masyarakat jasa informasi harus bertanggung jawab atas kontrak sosial yang timbul dari sistem yang dirancang dan diterapkannya.


5. KODE ETIK
Ada empat asosiasi profesional komputer AS telah membuat kode etik sebagai panduan bagi para anggotanya, yaitu :

1. Kode etik ACM (Association for Computing Machinery - 1947)
Kode perilaku profesionalnya menyatakan bahwa seorang anggota ACM selalu bertindak dengan integritas, berusaha meningkatkan kemampuannya serta kemampuan dan prestise profesinya, bertanggung jawab atas pekerjaannya, bertindak dengan tanggung jawa profesional, dan menggunakan pengetahuan dan keahlian khususnya untuk kesejahteraan umat manusia.

2. Kode etik DPMA (Data Processing Management Association – 1951)
Misi dari DPMA adalah menjunjung manajemen informasi yang efektif dan bertanggung jawab untuk kebaikan para anggotanya, para pemberi kerja, dan masyarakat bisnis. Kode etik DPMA terdiri dari standar prilaku yang menguraikan kewajiban manajer pengolahan data pada manajemen perusahaan, rekan anggota DPMA dan profesi, masyarakat dan pemberi kerja.

3. Kode etik ICCP (Institute for Certification of Komputer Professionals – 1973)
Maksud dari ICCP adalah memberi sertifikasi kepada para profesional komputer, yang meliputi certified computer programmer (CCP), certified in data processing (CDP). Hal tersebut harus ditempuh dengan ujian dan harus setuju dengan kode etik ICCP. Kode etik ICCP ada yang bersifat permanen dan dapat diperbaharui secara berkala. Kode etik ICCP yang menyatakan bahwa para anggotanya bertanggung pada pprofesi, pemberi kerja dan kliennya. Bile terjadi pelanggaran maka dapat mengakibatkan sertifikasinya dicabut.

4. Kode etik ITAA (Information Technology Association America – 1961)
ITAA merupakan suatu asosiasi bagi organisasi-organisasi yang memasarkan perangkat lunak dan jasa yang berkaitan dengan komputer. Kode etik ITAA terdiri dari prinsip-prinsip dasar yang mengatur penilaian, komunikasi, dan kualitas jasa dengan klien. Perusahaan dan pegawai diharapkan menegakkan integritas profesional industri komputer.

6. ETIKA DAN CIO
Prilaku CIO dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu hukum, budaya etika perusahaan, kode etik profesional, tekanan sosial (orang atau kelompok di luar perusahaan) dan tekanan pribadi (mungkin berala dari dalam perusahaan). Berdasarkan hasil survey oleh Scott J. Vitell dan Donald L. Davis, diperoleh hasil :
• CIO tidak bertindak yang tidak etis, walaupun kesempatan untuk berbuat yang tidak ada.
• CIO yang berhasil senantiasan berbuat etis.
• Perusahaan dan manajer memiliki tanggung jawa sosial.
• Manajer mendukung keyakinan etika mereka dengan tindakan.

Rencana tindakan untuk mencapai operasi komputer yang etis (menurut Don Parker) ada sepuluh langkah, yaitu :
1. Formulasikan suatu kode prilaku
2. Tetapkan aturan prosedur yang berkaitan dengan masalah (penggunaan jasa komputer untuk pribadi, HKI)
3. Jelaskan sanksi yang akan diambil terhadap pelanggar (teguran, penghentian dan tuntutan)
4. Kenali prilaku etis
5. Fokuskan perhatian pada etika melalui program-program (pelatihan dan bacaan yang disyaratkan)
6. Promosikan UU kejahatan komputer (cyberlaw) dengan memberikan informasi kepada para karyawan
7. Simpan catatan formal yang menetapkan pertanggungjawaban tiap spesialis informasi untuk semua tindakannya, dan kurangi godaan untuk melanggar dengan program-program seperti audit etika
8. Dorong penggunaan program-program rehabilitasi yang memperlakukan pelanggar etika dengan cara yang sama seperti perusahaan memperdulikan pemulihan bagi alkoholik atau penyalahgunaan narkotik.
9. Dorong partisipasi dalam perkumpulan profesional
10. Berikan contoh.

7. IKHTISAR
Moral, etika dan hukum semua mengatur prilaku kita. Moral memiliki sejarah dan ada dalam bentuk peraturan-peraturan. Etika, dilain pihak, terutama dipengaruhi oleh masyarakat dan dapat berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Hukum ada dalam bentuk tertulis dan mewakili prilaku yang diharapkan oleh penguasa berdaulat.
Para eksekutif menekankan budaya etis pada organisasi mereka dalam metode tiga lapis, yaitu menetapkan credo etika, membuat program-program etika, dan menyesuaikan kode etik untuk internal perusahaan.
Etika komputer mengharuskan CIO untuk waspada terhadap etika penggunaan komputer dan menempatkan kebijakan yang memastikan kepatuhan pada budaya etika. Sedangkan masyarakat mementingkan etika komputer karena tiga hal, yakni adanya kelenturan logika komputer menyebabkan komputer dapat melakukan apa saja yang diprogramkan, komputer dapat merubah cara hidup dan kerja, dan proses komputer tersembunyi dari penglihatan.
Masyarakat memiliki hak tertentu berkaitan dengan komputer. Masyarakat memiliki hak atas akses komputer, hak untuk memperoleh keahlian komputer, hak untuk menggunakan spesialis komputer, dan hak untuk mempengaruhi pengambilan keputusan. Dilihat dari segi hak atas informasi masyarakat memiliki hak atas privasi, hak atas akurasi, hak atas kepemilikan dan hak atas akses.
Empat perkumpulan profesional komputer di AS telah membuat kode etik. Walau kode etik tersebut merupakan suatu langkah ke arah yang benar, namun masih perlu banyak perbaikan. Satu elemen penting yang hilang adalah kenyataan bahwa kode-kode etik tersebut tidak menguraikan prioritas tanggung jawab.